Setelah tuntasnya Pemilihan Presiden dan Legeslatif di Kabupaten Malang, bulan ini Masyarakat desa di Kabupaten Malang disibukkan kembali dengan persiapan Pemilihan kepala Desa , termasuk yang akan dilangsungkan di beberapa desa dii wilayah Kecamatan Singosari.
Berikut daftar desa yang akan melaksanakan Pilkades serempak beserta nama para bakal calon kep[ala Desa Sekecamatan Singosari yang sudah memenuhi persyaratan administrasi, antara lain :
DESA WONOREJO
1. Poniman
2. Yunus Fauzan
3. Tasrip
4. Nuryadi
5. Samsul Hadi
DESA DENGKOL
1. Supriyadi
2. Agus Afandi
3. Sutrisno
4. Nurudin
5. Khoiron
6. Syamsul Arifin
7. Kasto
DESA BATURETNO
1. Mofit, SE
2. Solehan
3. Sugiantoro
DESA TAMANHARJO
1. Sumardi
2. Hariyono
DESA WATUGEDE
1. Solikan
2. Drs. Achmad Janaidi
3. Slamet Muliono
DESA BANJARARUM
1. Supriadi
2. Risma Yanti
3. Kasiadi
4. Za’fari
5. Muhammad Ainul Yaqin
DESA TUNJUNGTIRTO
1. Musrofin
2. Ekowati Sadnawa S
3. Hanik Dwi Martya P
4. Muhammad Fajar
DESA LANGLANG
1. Novi Dwi Jayanti
2. Eko Maulana Fadli
3. Yulianto
4. Anton Dwi Cahyono
DESA GUNUNGREJO
1. Rohmad
2. Suryono
3. Zurohmi
4. Muhammad
5. Samsul Hadi
6. Sampiono
DESA TOYOMARTO
1. Moh. Nari
2. Tekad Ansori
3. Mufidz
4. Sumito, SH
.
DESA RANDUAGUNG
1. Ahmad Muhajir
2. Supriono, SPD
3. Ahmad Mujiono
4. Hendro Setya Adji
5. M Fauziatul Ulum
6. Agustino
7. Agus Salim Yudianto
8. Subadi
9. Rohmat Dwi Sampurno
10. Sulaiman Hadi
Pilkades tersebut telah dilaksanakan serempak setelah Hari Raya Idul Fitri bersama sama Desa lain se Kabupaten Malang
Berikut Rekaman suasana PILKADES di : Gunungrejo,Langlang,Tunjungtirto,Banjararum,Watugede,Tamanharjo,Wonorejo,Dengkol,Baturetno,Randuagung dan Toyomarto . Sopoae sing dadi Kades,Semoga Amanah dan bisa menjadikan desanya lebih baik sesuai yang di cita-citakan bersama.
Hasil PILKDES 2019 kec.Singosari
1. Wonorejo ... *Samsul Hadi*
2. Dengkol ... *Agus Afandi*
3. Baturetno ... *Solekhan*
4. Tamanharjo ... *Sumardi*
5. Watugede ... *Ach. Djunaedi*
6. Banjararum... *Zafari*
7. Tunjungtirto *Hanik*
8. Gunungrejo ...Samsul hadi
9. Langlang ... *Yulianto*
10.Toyomarto ... *Sumito*
11. Randuagung ... *Subadi*
Update... 👍
Jika membandingkan politik kancah nasional dengan pedesaan jelas sangatlah berbeda. Tentu bagi saya lebih menarik politik pedesaan. Mengapa demikian? Karena jumlah lingkup pemilih yang kecil membuat politik pedesaan sangat berasa secara langsung bagi masyarakat. Oleh sebab itu tentang obrolan-obrolan di tongkrongan dengan tetangga pun harus berhati-hati. Jangan sampai menyakiti dan menyinggung calon kepala desa pilihan hati tetangga.
Bagi dan menurut saya, dunia perpolitikan kelas pedesaan merupakan kontestasi politik yang sesungguhnya. Sebab, antara calon dan pemilih bersentuhan secara langsung. Bahkan tidak-tanduk calon itupun sudah dikenali oleh pemilih (masyarakat) dengan baik. Bisa dikatakan bahwa demokrasi sebetulnya ada di desa. Aroma pemilu pun sangat terasa jika Pilkades akan berlangsung.
Orang-orang berlomba menjadi suksesor calon tersebut. Tentunya karna sudah membudaya, antara simpati politik, uang bahkan ikatan sodara. Tetapi tidak jarang banyak orang desa memlih karena uang, di samping kecintaan pada calon itu sendiri.
Tetapi di balik uang yang lumrah dalam politik desa. Ada sajian yang berbeda dari politik desa, yaitu kesediaan masyarakat untuk bertamu kepada setiap calon. Sebab di desa masih terjaga tradisi, calon kades membuka rumahnya setiap malam menjelang Pilkades. Tradisi seperti ini merupakan tradisi turun-temurun yang masih berlangsung sebagai budaya politik pedesaan. Tidak peduli dengan suka atau tidak sukanya kepada calon tersebut. Mayoritas masyarakat seperti bebas tidak terbebani pilihan politiknya terhadap salah satu calon tersebut.
Dan uniknya masyarakat membawa lawuh medang-nya sendiri untuk bawaan mereka bertamu ke rumah calon kepala desa. Lawuh medang adalah kumpulan berbagai jenis sembako yang biasa digunakan sebagai sajian layaknya jamuan bertamu. Sembako tersebut biasanya terdiri dari gula, teh dan cemilan-cemilan khas desa seperti kripik tempe, klanting dan sebagainya. Pemandangan seperti inilah yang mencairkan suasana dan sulit ditebaknya calon mana yang akan menang dalam pengumutan suara nanti.
Tidak jarang bumbu-bumbu yang disajikan pun berbeda jauh dengan kancah perpolitikan nasional. Politik pedesaan menurut saya menarik karna dominan pada faktor mistiknya. Sebab di desa tidak ada tim sukses yang akan berbicara program-program layaknya kontestasi politik nasional. Apalagi dengan survei-survei ekstabilitas dari calon-calonnya, sudah dipastikan belum pernah ada dari mimbar politik desa. Mungkin suatu saat jika zaman telah maju, perpolitikan desa pun akan ada ekstabilitas untuk urusan-urusan ini.
Tetapi jika ada survei, siapa yang akan memenangi Pilkades, biasanya dilakukan para gento dari dalam atau luar desa sendiri. Kelas gento adalah mereka para penjudi yang memanfaatkan momentum pemilihan kepala desa sebagai ajang penjudian yang sangat menarik.
Mengapa menarik? Karna bahan perjudian mereka adalah statistika yang bahannya dari perkiraan survei jumlah pemilih informasi agen-agen rahasia para gento itu sendiri. Bahkan perjudian bisa menyentuh puluhan bahkan jika para gento berani bisa ratusan juta
1. Supriyadi
2. Agus Afandi
3. Sutrisno
4. Nurudin
5. Khoiron
6. Syamsul Arifin
7. Kasto
DESA BATURETNO
1. Mofit, SE
2. Solehan
3. Sugiantoro
DESA TAMANHARJO
1. Sumardi
2. Hariyono
DESA WATUGEDE
1. Solikan
2. Drs. Achmad Janaidi
3. Slamet Muliono
DESA BANJARARUM
1. Supriadi
2. Risma Yanti
3. Kasiadi
4. Za’fari
5. Muhammad Ainul Yaqin
DESA TUNJUNGTIRTO
1. Musrofin
2. Ekowati Sadnawa S
3. Hanik Dwi Martya P
4. Muhammad Fajar
DESA LANGLANG
1. Novi Dwi Jayanti
2. Eko Maulana Fadli
3. Yulianto
4. Anton Dwi Cahyono
DESA GUNUNGREJO
1. Rohmad
2. Suryono
3. Zurohmi
4. Muhammad
5. Samsul Hadi
6. Sampiono
DESA TOYOMARTO
1. Moh. Nari
2. Tekad Ansori
3. Mufidz
4. Sumito, SH
.
DESA RANDUAGUNG
1. Ahmad Muhajir
2. Supriono, SPD
3. Ahmad Mujiono
4. Hendro Setya Adji
5. M Fauziatul Ulum
6. Agustino
7. Agus Salim Yudianto
8. Subadi
9. Rohmat Dwi Sampurno
10. Sulaiman Hadi
Pilkades tersebut telah dilaksanakan serempak setelah Hari Raya Idul Fitri bersama sama Desa lain se Kabupaten Malang
Berikut Rekaman suasana PILKADES di : Gunungrejo,Langlang,Tunjungtirto,Banjararum,Watugede,Tamanharjo,Wonorejo,Dengkol,Baturetno,Randuagung dan Toyomarto . Sopoae sing dadi Kades,Semoga Amanah dan bisa menjadikan desanya lebih baik sesuai yang di cita-citakan bersama.
Hasil PILKDES 2019 kec.Singosari
1. Wonorejo ... *Samsul Hadi*
2. Dengkol ... *Agus Afandi*
3. Baturetno ... *Solekhan*
4. Tamanharjo ... *Sumardi*
5. Watugede ... *Ach. Djunaedi*
6. Banjararum... *Zafari*
7. Tunjungtirto *Hanik*
8. Gunungrejo ...Samsul hadi
9. Langlang ... *Yulianto*
10.Toyomarto ... *Sumito*
11. Randuagung ... *Subadi*
Update... 👍
Jika membandingkan politik kancah nasional dengan pedesaan jelas sangatlah berbeda. Tentu bagi saya lebih menarik politik pedesaan. Mengapa demikian? Karena jumlah lingkup pemilih yang kecil membuat politik pedesaan sangat berasa secara langsung bagi masyarakat. Oleh sebab itu tentang obrolan-obrolan di tongkrongan dengan tetangga pun harus berhati-hati. Jangan sampai menyakiti dan menyinggung calon kepala desa pilihan hati tetangga.
Bagi dan menurut saya, dunia perpolitikan kelas pedesaan merupakan kontestasi politik yang sesungguhnya. Sebab, antara calon dan pemilih bersentuhan secara langsung. Bahkan tidak-tanduk calon itupun sudah dikenali oleh pemilih (masyarakat) dengan baik. Bisa dikatakan bahwa demokrasi sebetulnya ada di desa. Aroma pemilu pun sangat terasa jika Pilkades akan berlangsung.
Orang-orang berlomba menjadi suksesor calon tersebut. Tentunya karna sudah membudaya, antara simpati politik, uang bahkan ikatan sodara. Tetapi tidak jarang banyak orang desa memlih karena uang, di samping kecintaan pada calon itu sendiri.
Tetapi di balik uang yang lumrah dalam politik desa. Ada sajian yang berbeda dari politik desa, yaitu kesediaan masyarakat untuk bertamu kepada setiap calon. Sebab di desa masih terjaga tradisi, calon kades membuka rumahnya setiap malam menjelang Pilkades. Tradisi seperti ini merupakan tradisi turun-temurun yang masih berlangsung sebagai budaya politik pedesaan. Tidak peduli dengan suka atau tidak sukanya kepada calon tersebut. Mayoritas masyarakat seperti bebas tidak terbebani pilihan politiknya terhadap salah satu calon tersebut.
Dan uniknya masyarakat membawa lawuh medang-nya sendiri untuk bawaan mereka bertamu ke rumah calon kepala desa. Lawuh medang adalah kumpulan berbagai jenis sembako yang biasa digunakan sebagai sajian layaknya jamuan bertamu. Sembako tersebut biasanya terdiri dari gula, teh dan cemilan-cemilan khas desa seperti kripik tempe, klanting dan sebagainya. Pemandangan seperti inilah yang mencairkan suasana dan sulit ditebaknya calon mana yang akan menang dalam pengumutan suara nanti.
Tidak jarang bumbu-bumbu yang disajikan pun berbeda jauh dengan kancah perpolitikan nasional. Politik pedesaan menurut saya menarik karna dominan pada faktor mistiknya. Sebab di desa tidak ada tim sukses yang akan berbicara program-program layaknya kontestasi politik nasional. Apalagi dengan survei-survei ekstabilitas dari calon-calonnya, sudah dipastikan belum pernah ada dari mimbar politik desa. Mungkin suatu saat jika zaman telah maju, perpolitikan desa pun akan ada ekstabilitas untuk urusan-urusan ini.
Tetapi jika ada survei, siapa yang akan memenangi Pilkades, biasanya dilakukan para gento dari dalam atau luar desa sendiri. Kelas gento adalah mereka para penjudi yang memanfaatkan momentum pemilihan kepala desa sebagai ajang penjudian yang sangat menarik.
Mengapa menarik? Karna bahan perjudian mereka adalah statistika yang bahannya dari perkiraan survei jumlah pemilih informasi agen-agen rahasia para gento itu sendiri. Bahkan perjudian bisa menyentuh puluhan bahkan jika para gento berani bisa ratusan juta
sangat sulit bahkan tidak ada argumentasi logis, tentang isu yang
besar dan diperdebatakan. Hanya saja di ruang-ruang tongkrongan kampung
obrolan hanya berkutat argumentasi mistis yang sama sekali jauh dari
rasional. Memang wajar karna berpolitik dalam desa tidaklah perlu
terlalu berpikir ide, ekonomi dan tetek bengeknya seperti berpolitik
skala nasional tertera dalam debat pilpres.
Oleh sebab itu pendekatan mistis sangat terasa jika akan diadakan Pilkades. Karna pemilih desa bukanlah pemilih yang cenderung berpikir. Bukan tidak ada yang berpikir tetapi hanya beberapa dari keseluruhan.
Pemilih desa dominan suka pada calon, terkadang ada pula dominan tanda-tanda hitung-hitungan mistik sebagai dasar dia memilih. Berbeda dengan nasional yang hanya berkutat pada penggiringan opini di media-media besar untuk menarik simpati pemilih.
Inilah yang membuat Pilkades lebih menarik dari Pilpres. Tidak ada ukuran ekstabilitas calon, tidak ada kekutan modal, karna semua calon sudah dipastikan bermodal. Menurut saya, politik desa adalah politik uang tetapi uang tidak menjajikan kemenangan calon kades itu sendiri. Rata-rata setiap keluarga menerima uang dari semua calon.
Tarik ulur waktu pelaksanaan pilihan kepala desa (pilkades) tahun 2019, akhirnya tersepakati. Pilkades tahun 2019 ini digelar tanggal 30 Juni, maju dari yang direncanakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang yaitu bulan Oktober.
Ketetapan pelaksanaan pilkades di 267 desa tersebut, disampaikan secara langsung oleh Didik Budi Muljono Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Malang, Jum’at (08/02/2019) seusai rapat koordinasi persiapan pilkades serentak.
“Atas berbagai pertimbangan, kita sepakati untuk pelaksanaan pilkades serentak tahun ini akan digelar tanggal 30 Juni 2019. Tanggal pilkades serentak itu bertepatan dengan hari libur sekaligus pilpres juga telah usai,” kata Didik.
Salah satu pertimbangan diajukannya waktu pilkades serentak tersebut adalah terkait pengamanan yang akan melibatkan personel kepolisian dan TNI. Selain evaluasi dari pilkades sebelumnya. Dimana, menurut Didik bahwa waktu yang ditentukan tersebut telah cukup longgar bagi pihak kepolisian dan TNI dalam melakukan pengamanan.
“Sedangkan mengenai evaluasi pilkades tahun lalu adalah mengenai banyaknya protes terkait hasilnya. Tapi semua bisa diselesaikan,” ujar Didik yang optimis pelaksanaan Pilkades Serentak 2019 di Kabupaten Malang bisa berjalan lancar, aman dan terkendali.
Finalisasi jadwal pilkades serentak tersebut, sebenarnya telah mencuat dari DPRD Kabupaten Malang yang meminta pelaksanaannya dilakukan di bulan Juli 2019. Pengajuan jadwal tersebut didasarkan pertimbangan masa jabatan penjabat sementara yang tidak akan terlalu lama apabila dilakukan di bulan Oktober 2019 seperti yang pertama kali disampaikan.
“Kita sarankan Juli waktu itu. Tapi dengan ditetapkannya di bulan Juni datang, saya pikir itu lebih baik,” ucap Didik Gatot Subroto politisi dari PDI Perjuangan ini.
Alasan lain pihak DPRD Kabupaten Malang saat itu, apabila dilakukan di Oktober 2019 adalah mengenai kesibukan anggota dewan di bulan tersebut. Dimana, biasanya di akhir tahun anggota DPRD sedang direpotkan dengan penyelesaian berbagai program legislasi daerah (prolegda).
“Hal ini tentunya akan membuat dewan fokus dalam proses tersebut. Bulan Juli yang kita sarankan, dengan alasan belum ada kegiatan signifikan di parlemen,” ujarnya.
Sedangkan di bulan Agustus merupakan fase pelantikan anggota DPRD periode 2019-2024. Biasanya dilanjut dengan penyusunan tata tertib dan kode etik. “Artinya kita tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa di luar itu,” pungkas Didik.
Oleh sebab itu pendekatan mistis sangat terasa jika akan diadakan Pilkades. Karna pemilih desa bukanlah pemilih yang cenderung berpikir. Bukan tidak ada yang berpikir tetapi hanya beberapa dari keseluruhan.
Pemilih desa dominan suka pada calon, terkadang ada pula dominan tanda-tanda hitung-hitungan mistik sebagai dasar dia memilih. Berbeda dengan nasional yang hanya berkutat pada penggiringan opini di media-media besar untuk menarik simpati pemilih.
Inilah yang membuat Pilkades lebih menarik dari Pilpres. Tidak ada ukuran ekstabilitas calon, tidak ada kekutan modal, karna semua calon sudah dipastikan bermodal. Menurut saya, politik desa adalah politik uang tetapi uang tidak menjajikan kemenangan calon kades itu sendiri. Rata-rata setiap keluarga menerima uang dari semua calon.
Tarik ulur waktu pelaksanaan pilihan kepala desa (pilkades) tahun 2019, akhirnya tersepakati. Pilkades tahun 2019 ini digelar tanggal 30 Juni, maju dari yang direncanakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang yaitu bulan Oktober.
Ketetapan pelaksanaan pilkades di 267 desa tersebut, disampaikan secara langsung oleh Didik Budi Muljono Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Malang, Jum’at (08/02/2019) seusai rapat koordinasi persiapan pilkades serentak.
“Atas berbagai pertimbangan, kita sepakati untuk pelaksanaan pilkades serentak tahun ini akan digelar tanggal 30 Juni 2019. Tanggal pilkades serentak itu bertepatan dengan hari libur sekaligus pilpres juga telah usai,” kata Didik.
Salah satu pertimbangan diajukannya waktu pilkades serentak tersebut adalah terkait pengamanan yang akan melibatkan personel kepolisian dan TNI. Selain evaluasi dari pilkades sebelumnya. Dimana, menurut Didik bahwa waktu yang ditentukan tersebut telah cukup longgar bagi pihak kepolisian dan TNI dalam melakukan pengamanan.
“Sedangkan mengenai evaluasi pilkades tahun lalu adalah mengenai banyaknya protes terkait hasilnya. Tapi semua bisa diselesaikan,” ujar Didik yang optimis pelaksanaan Pilkades Serentak 2019 di Kabupaten Malang bisa berjalan lancar, aman dan terkendali.
Finalisasi jadwal pilkades serentak tersebut, sebenarnya telah mencuat dari DPRD Kabupaten Malang yang meminta pelaksanaannya dilakukan di bulan Juli 2019. Pengajuan jadwal tersebut didasarkan pertimbangan masa jabatan penjabat sementara yang tidak akan terlalu lama apabila dilakukan di bulan Oktober 2019 seperti yang pertama kali disampaikan.
“Kita sarankan Juli waktu itu. Tapi dengan ditetapkannya di bulan Juni datang, saya pikir itu lebih baik,” ucap Didik Gatot Subroto politisi dari PDI Perjuangan ini.
Alasan lain pihak DPRD Kabupaten Malang saat itu, apabila dilakukan di Oktober 2019 adalah mengenai kesibukan anggota dewan di bulan tersebut. Dimana, biasanya di akhir tahun anggota DPRD sedang direpotkan dengan penyelesaian berbagai program legislasi daerah (prolegda).
“Hal ini tentunya akan membuat dewan fokus dalam proses tersebut. Bulan Juli yang kita sarankan, dengan alasan belum ada kegiatan signifikan di parlemen,” ujarnya.
Sedangkan di bulan Agustus merupakan fase pelantikan anggota DPRD periode 2019-2024. Biasanya dilanjut dengan penyusunan tata tertib dan kode etik. “Artinya kita tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa di luar itu,” pungkas Didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar